SERAMBI ISLAM – Menyimak berita tentang jegal-menjegal dalam proses pemilihan Capres saat ini menjadi sebuah preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
Jika ada politisi yang menganggap jegal menjegal itu adalah hanya sebuah permainan yang dianggap hal yang wajar.
Maka hal tersebut memberikan kesan bahwa nasib bangsa ini dianggap sebuah permainan belaka. Ini berbahaya.
Jegal menjegal dalam percaturan politik dianggap sesuatu hal yang biasa itu tanda kemerosotan moral dalam berdemokrasi.
Jegal menjegal dalam pergantian kepemimpinan ataupun wakil rakyat sama halnya dengan upaya untuk menjegal atau mengamputasi hak rakyat.
Untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan. Sama sekali tidak mencerminkan sebagai bentuk demokrasi yang sehat.
Apalagi dengan adanya pemberlakuan Presidential Treshold 20% yang membatasi hak pilih rakyat membuat publik merasakan bagaimana nafsu para oligarki politik untuk berkuasa di negeri ini.
Yang ujungnya rakyat dipaksa untuk memilih calon-calon pemimpin yang tidak mereka kehendaki.
Ini tentunya sangat memalukan. Yang jelas selama kultur berpolitik masih seperti ini membuat suram nasib bangsa ini kedepan.
Seharusnya ada jiwa sportifitas yang mengedepankan kepentingan bangsa negara.
Menjegal lawan politik adalah sebuah keangkuhan bahwa yang menjegal merasa lebih hebat dari yang dijegal.
Tentunya itu bukan sikap sebagai seorang negarawan yang baik. Melainkan mental mafia yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya saja dan sepantasnya sikap ini menjadi musuh bersama.
Biarkan bangsa ini mempunyai banyak alternatif pemimpin untuk dipilih karena hal ini adalah konsekuensi dari penerapan Demokrasi. Jangan setengah-setengah.
Semakin banyak calon yang potensial harusnya membuat semua pihak bangga bahwa bangsa ini tidak kehabisan orang-orang hebat.
Opini: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.***